SPANDUK

Siapa kini yang membaca spanduk? Kecuali bila tak sengaja? Tergantung-gantung di atas kita, melintang jalanan, kain-kain bertuliskan sejumlah kata itu entah apa gunanya. SUKSESKAN PEKAN PARIWISATA. KELUARGA BERENCANA UNTUK MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN. DIRGAHAYU…Mereka cuma hadir di sana, sudah.

Rasanya kita membiayai pembelian cat, kain, sejumlah tenaga, dan memesan kalimat-kalimat tertentu – tapi tidak teramat peduli apakah kata-kata itu bakal diacuhkan atau tidak. Spanduk akhirnya hanya hiasan rutin, dalam rangka suatu kegiatan. Kata “hiasan” pun mungkin tidak tepat. Spanduk itu bahkan mungkin menghalangi harmoni. Bahkan kain terentang, yang mempertahankan diri pada huruf-huruf itu, tak pernah lebih indah ketimbang puluhan papan iklan yang kini memberi warna – menyebalkan atau tidak – di pojok-pojok.

Tapi sebagaimana halnya iklan, spanduk juga bisa mencerminkan sesuatu tentang situasi. Ia bisa bercerita tentang hubungan kita kini dengan kata-kata, dan seketika itu juga, tentang hubungan kita dengan orang banyak. Dari kata-kata yang tertera di sana bisa terlihat bahwa mungkin si pembuat (sebuah panitia lokal, atau sebuah jawatan pemerintah) tak menyadari lagi bahwa kalimat-kalimatnya sudah amat membosankan. Bahwa inspirasinya tinggal nol. Bahwa ia tak bisa lagi menggugah. Mungkin keyakinan memang tak penting baginya. Sebab mungkin yang utama baginya hanya ini: “Saya telah menjalankan instruksi, yakni membuat spanduk, titik.”

Artinya, ia tak begitu repot memikirkan efektivitas kata bagi orang lain. Artinya, ia mungkin hanya penyangga suatu “gaya” yang rupanya tengah dominan, gaya birokrat-pejabat, yang dunia sintaktisnya terbatas pada SK dan memo-memo kantor. Dari situ ia tak berani menyimpang. Ia ingin patuh. Ia tak ingin melakukan sesuatu yang menarik perhatian orang di luar. Ia takut bahwa popularitas, usaha menarik hati orang banyak, adalah sesuatu yang kurang wajar. Ia memang bukan orang politik, yang hidupnya terangsang oleh pergulatan dan pergaulan dengan khlayak, di mimbar atau di jalanan.

Maka spanduk yang dibikinnya, anjuran-anjuran yang dimaklumkannya, mungkin memang tak dimaksudkan menggerakkan hati masyarakat – meskipun itu dalam perkara segawat keluarga berencana. Spanduk itu mungkin cuma untuk membuktikan suatu kegiatan, dengan suatu anggaran, untuk suatu proyek – supaya pak atasan itu mengangguk-angguk oke, oke.