Cara termudah bagi seorang akademisi untuk membangun kredibilitas akademiknya adalah dengan menulis buku. Terutama bagi mereka yang sudah menjadi dosen. Apakah saya sedang bercanda? Kalau menulis artikel singkat di koran atau menulis paper ilmiah untuk jurnal saja "tidak sempat", bagaimana mungkin "ada waktu" untuk menulis buku?
Menulis buku bagi seorang dosen sebenarnya sangat mudah. Rata-rata dosen UI, UGM, ITB, dll menulis buku. Isinya pun sederhana tapi cukup representatif. Waktu kuliah S1 jurusan hukum di Indonesia, saya terkesan dengan buku "Dasar-dasar Ilmu Politik" karya Prof Miriam Budiarjo, guru besar UI yang mantan diplomat di AS. Isinya ringan tapi berbobot dan yang lebih penting lagi semua kandungan buku tsb adalah kumpulan materi kuliahnya selama setahun di FISIP UI!
Apa yang dilakukannya merupakan ide sederhana tapi cemerlang: menulis buku dari kumpulan materi kuliah yang diajarkan pada mahasiswa. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa semua dosen dapat menulis buku. Paling sedikit, setahun sekali. Asal setiap materi kuliah dipersiapkan secara serius. Tidak sulit, bukan?
Kandungan buku yang berasal dari kumpulan materi kuliah dosen sebenarnya bukan hal baru. Semua dosen di seluruh dunia melakukan hal serupa, termasuk dosen-dosen kita di India, di Mesir, Eropa, Amerika, dll. Saya ungkapkan lagi di sini, karena saya melihat dosen-dosen alumni India belum ada yang melakukannya; mungkin belum tahu atau mungkin lupa. Apapun kemungkinannya tidak ada jeleknya kalau saya ingatkan kembali.
Buku juga dapat berupa kumpulan makalah ilmiah yang pernah kita bawakan di sejumlah seminar, pernah dimuat di jurnal atau kompilasi tulisan artikel pendek yang pernah dimuat di media. Buku sejumlah tokoh akademisi banyak juga yang berasal dari kumpulan tulisan mereka di media. Buku-buku Prof Dr Nurcholis Madjid seperti "Keislaman dan Keindonesiaan", "Islam dan Peradaban", dll. adalah salah satu contoh.
Kenapa kalangan akademisi umumnya begitu getol menulis atau menyusun buku? Jawaban pertama yang keluar adalah "untuk membangun kredibilitas atau reputasi akademis". Ini tidak berarti bahwa kalangan akademisi yang tidak mempunyai karya ilmiah sama sekali sebagai bodoh. Tidak. Ia bisa saja pintar, bahkan mungkin saja lebih pintar dari yang menulis. Tapi, tanpa memiliki karya bagaimana orang lain tahu bahwa anda memiliki kapabilitas/kemampuan akademis yang mumpuni? Bagaimana orang tidak akan meragukan ijazah dan titel Anda yang berderet-deret? Dan pada tataran praksis, bagaimana Anda dapat mencapai kredit poin untuk menjadi profesor apabila tidak memiliki karya tulis?
Akademisi Pakar dan Non-Pakar
Secara faktual, walaupun tidak pernah disebut secara eksplisit, kalangan akademisi terbagi menjadi dua kelompok: pakar dan non-pakar. Apabila Anda rajin menonton channel TV berita internasional seperti CNN, BBC, CNBC atau rajin membaca jurnal dan majalah internasional seperti TIME (www.time.com), NEWSWEEK (www.newsweek.com), Al Jazeera (www.aljazeera.net), The Guardian (www.guardian.co.uk), The Times (www.times.co.uk), International Herald Tribune (www.iht.com), dll, maka anda akan melihat siapa saja tokoh-tokoh yang mengisi di situ. Dari kalangan akademisi, biasanya yang muncul tulisannya atau wawancaranya adalah mereka yang sudah menulis buku. Di CNN atau BBC umpamanya, di bawah gambar tokoh yang diwawancarai biasanya selalu ada keterangan tentang buku yang ditulisnya yang berkaitan dengan topik wawancara.
Begitu juga dengan kalangan akademisi yang mengisi kolom-kolom majalah internasional. Bangga sekali saya rasanya ketika melihat tampang dan tulisan Gunawan Mohamad, mantan pemred majalah TEMPO, tampil di majalah bergengsi Amerika, TIME. Di akhir tulisannya ada keterangan singkat bahwa dia adalah penulis buku SIDELINES (kumpulan tulisannya di Tempo dalam kolom Catatan Pinggir).
Apa artinya semua ini? Jelas, seorang akademisi baru dianggap pakar yang kredibel dan patut didengar kata-katanya kalau dia sudah membuahkan karya tulis, terutama yang berbentuk buku. Baik itu berupa kumpulan tulisan pendek atau karya utuh. Tanpa itu, janganlah merasa bangga hanya karena telah berhasil menjadi dosen. Karena kredibilitas kedosenan/akademisi Anda masih dipertanyakan banyak orang.
Nah, apakah seorang akademisi yang tak memiliki karya tulis pantas dianggap pakar? Apakah gelar M.A. dan Ph.D belum cukup untuk menjadi akademisi pakar yang kredibel? Tentu saja bisa. Akan tetapi masalahnya adalah, pertama, siapakah yang tahu akan kepakaran anda bila tidak menulis? Kedua, bagaimana kita dapat mengklaim diri sebagai pakar apabila keilmuan kita belum teruji dan dikritisi selain oleh mahasiswa sendiri yang umumnya akan berpikir dua kali untuk mengkritisi dosennya. Aturan tak tertulis dalam dunia kompetisi adalah semakin teruji kualitas seseorang di "medan tempur", maka akan semakin tinggi kualitas orang tsb.
Dalam lingkup nasional dan internasional, akademisi yang belum memiliki karya tulis (published articles, atau buku), belum dianggap pakar, walaupun dia sudah bergelar M.A. atau Ph.D. Sebaliknya, walaupun baru lulus S1 tapi kalau sudah menulis buku bisa dianggap akademisi pakar. Gunawan Mohamad adalah salah satu contoh.. (Mario Gagho)